.
Meskipun
desa Demuk merupakan desa terpencil yang letaknya di dataran pegunungan gamping
dekat perbatasan Blitar Selatan, namun juga tak ketinggalan turut menghiasi
lembaran dari pada sejarah Kabupaten Tulungagung.
Kalau
orang menyebut nama Demuk, maka kesan pertama yang timbul menggambarkan nama
sebuah desa tempat orang sakti yang memiliki kelebihan-kelebihan. Desa Demuk
pada pertengahan abad ke-19 masih berwujud hutan belukar yang tidak pernah
diambah orang. Tak ada yang berani mendekatinya. Karena sudah terkenal
keangkerannya.
Boleh
dikatakan dalam bahasa Jawa “Wingit”: “Jalma mara jalma mati, sato mara sato
mati’. Banyak cerita-cerita ajaib tumbuh di kalangan masyarakat Tulungagung
mengenai babadnya desa ini terutama yang menyangkut keistimewaan dari pada
penghuni pertama atau cikal bakal, ialah Raden Mas Djajengkoesoemo. Nama ini
hampir semua orang-orang tua mengenalnya.
R.M.
Djajengkoesoemo masih keturunan Raja Mataram (Hamengkubuwono II). Beliau adalah
putra R.M.T. Djajaningrat, Bupati Ngrowo yang ke-5. nama kecilnya R.M. Moidjan.
Sejak dari kanak-kanak sudah tampak jiwa kepahlawanannya, dan bibit
kebenciannya terhadap orang-orang Belanda. Seringkali putera Bupati ini
bertengkar dengan sinyo-sinyo dan bahkan pada suatu ketika pernah ada seorang
anak Belanda yang ditempelengnya sampai jatuh pingsan. Ayahnya, ialah R.M.T.
Djajaningrat kerap kali merasa jengkel terhadap tindakan puteranya. Karena
kenakalannya pernah R.M.Moijan dihajar oleh sang ayah, dimasukkan dalam kolah
berisi air yang dicampur dengan tumbukan lombok rawit. Tetapi ternyata tidak
apa-pa. jangankan menangis, merasa pedih atau “wedangan” (bahasa Jawa) pun
tidak. Setengah orang mengatakan bahwa R.M.Moijan adalah anak kendit (mempunyai
jalur putih yang melingkar diatas pingganya).
Ini
menandakan seorang anak yang memiliki kekebalan. Setelah dewasa R.M.Moijan
berganti nama R.M.Djajengkoesoemo. pada tahun 1644 R.M.Djejengkoesoemo
R.M.Djajengkoesoemo sudah menjabat Wedono di kota Tulungagung, lalu pindah ke
Srengat (1849), kemudian ke Nganjuk (1051). Tiga tahun kemudian menjabat
Collecteur Berhbek lalu dipindah jadi Wedono Distrik Gemenggeng.
R.M.Djajengkoesoemo sangat memperhatikan kebutuhan penduduk. Ini terbukti
dengan usaha pembangunannya, ialah ketika di Srengat membuat bendungan Pakel
yang dapat menolong penghidupan rakyat desa Pakel, Pucung, dan Majangan (Ketm.
Ngantru). Selain itu membangun rumah Kawedanan dengan merogoh sakunya sendiri.
Di
Nganjuk juga membangun rumah, lantai dan pagar Kawedanan atas biaya sendiri
serta mengerjakan bendungan kali Lo, yang menggenangi kebun tebu sampai menjadi
sawah. Di Gemenggeng membangun rumah Kawedanan beratab sirap dan memperbaiki
bendungan Kedung Gupit-Paron yang sering kali dadal, sampai menjadi kuta
sekali.
Oleh
sebab beliau sering berkecimpung dalam masalah pembangunan, maka hubungannya
dengan masyarakat menjadi lebih akrab, sehingga hampir setiap orang
mengenalnya.
Eratnya
perhubungan ini lebih menjangkitkan jiwa kepatriotannya, sehingga dimana saja
namanya selalu disebut orang. Beliau termasuk seorang yang berkeras hati dan
pemberani, tetapi perasannya sangat halus. Hal ini terbukti dengan terjadinya
peristiwa Ngujang. Pada waktu itu jembatan Ngujang sedang dalam keadaan
dibangun. Kuli-kuli bekerja dengan sibuknya.
Dalam
perjalannya dari Nganjuk ke Tulungagung R.M.Djajengkoesoemo tertarik kepada
kesibukan pekerjaan-pekerjaan pembangunan, sehingga terpaksa berhenti untuk
melihatnya.
Makam
R.M. Djajengkoesoemo
Di
Demuk (wafat tgl. 9-12-1903)
(foto
team 1971).
Diantara
berpuluh-puluh kuli, terdapat beberapa kelompok orang yang sedang beristirahat
sambil duduk menikmati bekal yang dibawanya dari rumah.
Kebelutan
pada saat itu ada seorang petugas bangsa Belanda yang sedang berkeliling
mengadakan pengawasan. Mengetahui orang duduk sambil makan itu ia marah-marah
dengan membentak-bentak ia menyuruh orang-orang itu bekraja kembali dan
menaburkan pasir pada makanan kuli tersebut.
R.M.
Djajengkoesoemo mengetahui semua kejadian itu. Beliau tak dapat menabahkan
hatinya. Tanpa pikir panjang pusakanya dihunus diacungkan kepada petugas yang
kasar itu. Karena pusaka itu sangat ampuh maka petugas tadi tak dapat bergerak
dan mati dalam keadaan tetep berdiri.
Keris
pusaka itu bernama keris Kyai Semar Mesem yang sampai sekarang masih disimpan
oleh keturunan R.M. Djajengkoesoemo. Dengan terjadinya peristiwa itu R.M.
Djajengkoesoemo dipersalahkan, tetapi karena beliau itu masih keturunan Raja,
tidak dikenakan hukuman penjara, melainkan diselong ke Demuk. Untuk ini beliau
disuruh mengajukan permohonan babad hutan kepada pemerintah Belanda. Surat
keputusan berhenti dari jabatan karena pensiun onderstand diberikan dan berlaku
mulai tanggal 23-3-1880, sedang surat ijin babat hutan Demuk diperolehnya pada
tanggal 10 Oktober 1893.
Waktu
berangkat beliau hanya membawa bekal uang f.0,25, dan mengerahkan tenaga
sebanyak 40 orang. Tiga pedukuhan yang dikerjakan ialah Puser, Boto dan
Kasrepan. Luas tanah yang dibabad kesemuanya ada 35 bau, terdiri dari 9,75 bau
untuk pekarangan, dan 25,25 bau untuk pagagan. (Isin No. 755 tgl. 10 Oktober
1893). Ikut bertanda tangan sebagai Komisi :
1.
Kontroleur Ngrowo,
2.
Wedono Distrik Ngunut, dan
3.
Assisten Wedono Kalidawir.
Tanah
tersebut tetap menjadi miliknya R.M. Djajengkoesoemo sampai turun-temurun. R.M.
Djajengkoesoemo wafat pada tanggal 9-12-1903 dan dimakamkan di Demuk.
Sedang
putranya bernama R.M. Argono Purbokoesoemo yang umumnya disebut Raden Margono
pernah menjabat Kepala Desa Puser. Cerita kesaktian masih pula terdapat pada
masa itu. Pernah ada seorang mantra klasir mencobanya, ialah dengan sengaja
meninggalkan topinya. Mantri ini lalu suruhan orang untuk mengambilnya tetapi
entah karena apa tidak kuat mengangkat. R.M.Margono mengerti hal ini. Beliau
segera mendekati topi tersebut, lalu disemparnya dengan kaki. Topi melesat dan
jatuh persis di atas kepala mantri Klasir. Demonstrasi ini diketahui oleh para
lid Klasir, baik dari desa Demuk maupun desa sekitarnya, sehingga setelah itu
Mantri Klasir tak berani menonjolkan kelebihannya lagi.
R.M.
Djajengkoesoemo oleh pejabat pemeritnah Belanda sangat disegani. Demikian pula
keturunnya ialah R.M. Purbokoesoemo.
Ketika
jaman perang kemerdekaan desa Demuk yang terpencil itu menjadi ramai seperti
kota, karena banyak orang datang untuk minta restu agar untuk mendapatkan
keselamatan di dalam masa perjuangan menghadapi musuh.
R.M.
Poerbo ini mempunyai 9 orang putera dan salah seorang diantaranya menjadi
isteri Wedono pensiunan (R.P. Sajid) di Kediri, yang menyimpan surat piagam
maupun surat silsilah peninggalan Eyangnya. R.M. Poerbo meninggal pada tanggal
26-6-1946 dan dimakamkan pula di dekat makam ayahnya. Hingga sekarang desa
Demuk merupakan desa yang bersejarah sehingga di dekatnya didirikan Pos
kemantren dan setelah diadakan perubahan wilayah, masuk Kecamatan Pucanglaban.
0 comments:
Post a Comment