Wednesday 27 May 2015

SEJARAH DESA TAWANGSARI

CERITA DESA / DUSUN        :
            desaTawangsariberasaldari kata "Tawang danNagasari". Sebelum Tawangsari dibuka sebagai tempat tinggaldan  masjid Kyai Abu Mansur menemukan sebuah pohon besar yang disebut dengan pohon Tawang dan berada (dilingkupiolehpohonNagasari). Akhirnya setelah  pohon Tawang dan pohon Nagasari dapat ditebang makaja dilah desa yang dinamakan Tawangsari. Sedangkan pohon tawang yang telah ditebang dibagi menjadi enam potongan untuk dijadikan bedug.Keenam potongan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada beberapa masjid yaitu : Masjid Tawangsari, masjid Winong, masjid Majan, masjid AgungTulungagung, masjid JemekanBotoran, dan masjidSumberBedugNgadiluweh. Karena jasa-jasa Kyai Abu Mansur dalam mengembangkan agama Islam, akhimya desaTawangsari mendapat perdikan dari Mataram.
DesaTawangsari terletak  di bagian barat Kabupaten Tulungagung. Dahulu termasuk daerah berstatus Perdikan Mutihan. Desa tersebut telah menyimpan sejarah panjang seorang tokoh  yang  sangat bijaksana atas pertumbuhan dan perkembangan Kadipaten Ngrowo , sekarang bernama Kabupaten Tulungagung Tokoh tersebut bernama Kyai Haji Abu Mansur.
            KH. Abu Mansur, menurut penelitian Bapak Kyai Komaruz Zaman,  imam masjid Tawangsari dan masih keturunan KH Abu Mansur, beliau keturunana dipati Cakraningrat dan  Madura yang belajar Agama Islam ( menjadisantri ) kepada Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Nama kecil KH Abu Mansur adalah Bagus Qosim. Beliau punya 4 putra yaitu, Kyai Yusuf ( Martontanuatau Abu Mansur 2, KyaiIlyasWinong, Nyai H. Musin dan Nyai Jodik Kromo.  Kisah Nyai H Muhsin dan Nyai Jodik Kromo tidak banyak terungkap,  karena tidak mewarisi tahta pemeritnahan di Tawangsari.
            Dalam geger pecinan semula Sunan Pakubuwono II ( 1727 – 1749 ) membantu orang-orang cinamelawan VOC. Melihat sikap Pakubuwono II berbalikke VOC. Mas Garendi  ( cucusunan mas ) dengan di dukung dengan rakyat memberontak dan berhasil menguasai  keraton  Surakarta, kemudian diangkat menjadi sunan kuning. Pakubuwono II terpaksa menyingkir mencari perlindungan kepada Kyai Ageng Muhammmad Besyari di Ponorogo. Dengan mendapat bantuan dari kompeni dan Kyai Ageng dan murid-muridnya menduduki tahta kembali pada tahun 1668 jawa.
            Atas jasanya ikut serta mengembalikan kedudukan Pakubuwono II menjadi Raja di Surakarta inilah maka Kyai Ageng mendapat tanah perdikan di Tegal sari, Jetis Ponorogo dan Kyai Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Tawangsari Tulungagung Tahun 1672 jawa.
            Pada waktu sunan Pakubuwono III memerintah kerajaan Mataram,  menggantikan ayahnya mendapat perlawanan kuat dari pamannya, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Karena pemberontakan sulit di padamkan, maka diadakan perjanjian Gianti( 13Pebruari 1755 ) yang salah satu isinya Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi  Raja di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
            Perjuangan Mangkubumi mendapat tahta kerajaan di bantu Kyai Ageng Muhammad Besyari, Kyai Ageng dan KH Abu Mansur sepaham dan menjadi pengikut pangeran Mangkubumi dalam hal melakukan perlawanan terhadap VOC, karena jasanya membantu pangeran Mangkubumi memperoleh kedudukan sebagai Raja Kyai Abu Mansur di perkuat kedudukannya sebagai penguasa di Tawangsari dengan member surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1770 M.
            Layang kekancingan tersebut aslinya disimpan olehk yaik omarus zaman, imam masjid Tawangsari sekarang. Ditulis dengan huruf jawa, tidak distempel dan tidak ditandatangani. Tahun  yang tertera di surat tersebut 15 Mulud 1672 menunjukkan tahun jawa.
            Sedangkan laying kekancingan dari Pangeran Mangkubumi kepada KH Abu Mansur sebagai penguat surat dari keraton Surakarta sebagai berikut :
“ Ingkang dihin salam ing sunmarang siro Abu Mansur.
Pakeniro ing sunmaringi panguwoso merdika marang siro, yaitu tanah iro sareh iro, kanggo sakturun-turuniro.
Ingkang dihin ingsun maringi panguwoso marmane, lan ingsun maringi nawulo ingsun paparentahan kang mardiko. Sing sopo nora anges tokno, amaido, iku banjur hunjukno marang ingsun, bakal ingsun palaksono honoalun-aluningsun, sakehing nayokonigsun.

Asma dalem mangkubumi dawuh pangandiko dalem sinang kalan buto ngerik mongso jalmi”
            Surat tersebut ditulis huruf jawa bers temple merah dan aslinya disimpan oleh keturunan kyai Abu Mansur sekarang .Dalam buku-buku sejarah disebutkan pangeran Mangkubumi memerintah Kerajaan Yogyakarta antara tahun 1755 – 1792, maka penafsiran atau sangkalan tersebut lebih tepat menunjukkan tahu 1770 Masehi, 15 tahun setelah mendapat kedudukan sebagai Hamengkubjuwono I.
Karena sebelum mangkubumi menjadi sultan Yogyakarta, Kadipaten Ngrowo dibawah pinpinan kekuasaan Surakarta. Dengan adanya perjanjian Giantia pembagian wilayah kekuasaan dan kadipaten Ngrowo menjadi wilayah kekuasaan Yogyakarta.
            Ada 2 layang kekancingan yang pernah diterima Kyai Abu Mansur, atas nama kerajaan Surakarta, Pakubuwono II pada tahun 15 Mulud 1672 dan atas nama pangeran mangkubumi pada tahun 1695 jawa. Kemungkinan surat pertama diberikan oleh Pakubuwono II menjabat sebagai Raja sebelum kraton Surakarta dipecah menjadi Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sedangkan surat kedua diberikan oleh Mangkubumi setelah 15 tahun menjadi sultan di Yogyakarta.
            Dengan adanya perjanjian Gianti tahun 1755 M, wilayah kekuasaan kerajaan Surakarta dibagi atas 2 dasar jumlah penduduk dan tingkat kesuburan, yaitu kasunan Surakarta mendapat bagian daerah Djogorogo, Ponorogo separuhnya Pacitan, Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo , Pace, Nganjuk, Wirosobo, Blora, Banyumas dan Keduang. Jumlah penduduk 85.350 jiwa.
            Kesultanan Yogyakarta mendapat bagian daerah Mediun, Magetan, Caruban, Setengah Pacitan, Kertosono, Ngrowo, Mojokerto, Bojonegoro, Teras, Keras, Ngawen dan Grobogan. Dan jumlah penduduk 87.000  jiwa.

JASA – JASA KYAI ABU MANSUR TERHADAP KADIPATEN NGROWO
1.      Telah berdakwah di Kadipaten Ngrowo khusunya Tawangsari, Majan, Winong. Kedesa tersebut sejak dahulu hingga sekarang dikenal sebagai daerah santri, peninggalan beliau berupa masjid Tawangsari, Winong, Majan. Sebenarnya di Tawangsari dahulu ada Pondok Pesantren yang diasuh oleh Kyai Abu Mansur, tetapi keberadaannya tidak ada yang melanjutkan dan sekarang tidak adalagi.
2.      Beliau melatih ilmu kanuragan kepada masyarakat Tawangsari. Di tahun 60-an desa tersebut terkenal pencaksilatnya.
3.      Didalam buku“BABAT SEJARAH TULUNGAGUNG”, ketika Kadipaten Ngrowo hendak membangun alon-alon beliau ikutan didalam pembangunan tersebut, dahulu tempat itu berupa rawa-rawa, dan air sulit di bending atas jasa Kyai Abu Mansur air dapat dihentikan dan menjadi alon-alon sekarang.
4.      Berhasil menanamkan jiwa nasional, pada ketiga desa tersebut. Rasa nasionalisme dilandasi oleh semangat ajaran islam.

1.      Nara Sumber :
Nama                           : Nur Muslim
Umur                           : ± 49 tahun
Pekerjaan/Dinas          : Kepala Desa Tawangsari Kec. Kedungwaru Kab.Tulungagung
Alamat Nara Sumber  : Desa Tawangsari Kec. Kedungwaru Kab.Tulungagung

2.      Nama                           : Srianah
Umur                           : ± 82 tahun
Pekerjaan/Dinas          : Istri Mantan Kepala Desa Tawangsari Kec. Kedungwaru
Kab.Tulungagung
Alamat Nara Sumber  : DesaTawangsari Kec. Kedungwaru Kab.Tulungagung

BUKTI FISIK PENINGGALAN YANG MASIH ADA :



0 comments:

Post a Comment